Definisi
Riba
Apa
itu riba? Jawabnya: Riba adalah beberapa jenis transaksi yang diharamkan oleh
islam. Antara satu jenis riba dengan yang lain kadang terlihat sangat berbeda.
Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk merangkum berbagai jenis riba tersebut
dalam sebuah definisi yang pas. Maka, dari pada kita menghabiskan tempat untuk
berpayah-payah mencari definisi riba, lebih baik kita langsung biacara tentang
contoh konkret dari jenis-jenis riba yang ada.
bunga
utang salah satu jenis riba
Jenis-Jenis
Riba
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’).
Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli
(riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:
Riba
Dalam Utang
Dikenal
dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba ini
terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak
tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal).
Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual-beli
adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang,
yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain.
Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada
saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh
riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang
sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya
telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka
tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk
riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak
yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai
tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka
temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut.
Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena
banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi
qardh (utang-piutan).
Sementara
riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si
X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam
tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan
diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
Perlu
diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak
tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada
segala macam barang. Jika si A berutang dua liter bensin kepada si B, kemudian
disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan
tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A berutang 10 kg
buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar
1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa
disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba, meski hanya berupa
segenggam makanan ternak”.
Bahkan,
mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus
memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa
tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka
ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang
kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B
selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
Riba
Dalam Jual-beli
Dalam
jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah. Keduanya
akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.
Berbeda
dengan riba dalam utang (dain) yang bisa
terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali
dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda:
“Jika
emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar
dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir,
kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah
(takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa
menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang
mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam
dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
Dalam
riwayat lain dikatakan:
“Emas
ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan
jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal,
sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan
(kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari
tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud
III/248).
Ada
beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama,
Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam
komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka
ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini
saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya,
keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua,
Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar
dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang
harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan
kedua keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan
ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan
gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali
lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg
kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma
dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran,
maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping
harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan
dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara
tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek
ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai
penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Ketiga,
Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh
dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita
boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai
kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg
gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh
asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi.
Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak
boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang
ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya
dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.
Keempat,
Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar
dengan ke kayu, maka dalam hal ini tidak
disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu
bukan termasuk barang ribawi.
Kelima,
Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu
sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh
menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10
buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai
bukan barang ribawi.
Memahami
Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl
secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara bahasa
maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Nah,
sekarang mari kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama
dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita
memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk
mengenal nama-namanya. Hanya saja,
karena istilah riba fadhl dan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita
dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami tulisan atau
pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan
cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja
kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan
riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi
pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram
ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi
karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau
penangguhan.
Semua
riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba
nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah
berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan.
contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga
dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini
merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah
disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar
115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang
memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan
pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara
itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan,
melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang
sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda
jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau
membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan
karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama
barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang
ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama
menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan
istilah khusus, yakni riba yad.
Kesimpulan
Riba
bisa terdapat dalam utang dan transaksi jual-beli.
Riba
dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun
yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini
bisa terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti
jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena
muncul akibat tempo (penundaan).
Riba
dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang
ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis
ini yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba
dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak
kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini
digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan istilah
riba yad.
Wallahu
a’lam
Skema
Jenis-jenis Riba
Pos By : Ustd Titok Priastomo
1 komentar:
TIGER MIX 9 TI 1989 - Ti 89 Titanium Calculator
TIGER MIX 9 TI 1989. - TI 1989. The TIGER MIX 9 is 온라인 바카라 사이트 a Chinese suppliers of metal machine manufactured by Ming titanium jewelry for piercings dynasty in ti89 titanium calculator the city of Qingdao (Ming-Qingtian). surgical steel vs titanium
Posting Komentar