Kamis, 13 Juni 2013

Hukum Jual-beli Kredit Dengan Harga Yang Lebih Tinggi Dari Harga Kontannya


Menawarkan dua cara pembayaran, kontan dan kredit, dengan dua harga yang berbeda telah menjadi kelaziman. Misalnya, penjual mengatakan, “notebook ini kalau cash Rp.5 juta, kalau dicicil selama lima bulan Rp. 5,5 juta”. Apakah penawaran seperti ini dibolehkan?

Hukum Jual-beli Kredit

Para ulama menyebut praktek di atas dengan istilah bai’ut taqsith (jual-beli kredit) dengan tambahan harga. Menurut pendapat yang kuat –wallahu a’lam- hukumnya adalah boleh, syaratnya: harga, jumlah angsuran serta besaran tiap angsuran harus ditentukan sebelum berpisah; dan barang harus ada saat akad[1]. Dalilnya adalah keumuman hukum jual-beli. Allah berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

Dan Allah menghalalkan jual beli” (TQS Al Baqarah 275)

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman janganlah memakan harta sesama kalian secara batil kecuali dengan perniagaan atas dasar kerelaan di antara kalian” (TQS An Nisa’ 29).

Atas dasar itu, jika semua pihak rela dengan salah satu tawaran, maka itu merupakan jual-beli yang dibolehkan syara’ karena hukum asal jual-beli adalah boleh. Asy Syafi’i mengatakan, “Pada prinsipnya semua jenis jual-beli itu boleh asalkan dengan kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi … kecuali jual-beli yang dilarang oleh rasululllah saw.”[2]

Perbedaan pendapat tentang jual-beli kredit

Memang terdapat perselisihan dalam hal ini. Kami akan sedikit menguraikannya demi menghilangkan keraguan. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah membolehkan praktek tersebut, sedangkan sebagian Zaidiyah dan Dhohiriyah mengharamkannya[3]. Ulama kontemporer yang membolehkannya antara lain An-Nabhani[4], al-Qardhawi[5], Ali Salus[6], Wahbah Az-Zuhaili[7] dan Ibnu ‘Utsaimin[8]. Sementara Abu Zahroh[9], Al Albani[10] dan Muqbil[11] mengharamkannya.

Argumen Yang Mengharamkan jua-beli kredit dengan harga lebih tinggi

Mereka yang mengharamkannya berpegang pada hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

Barang siapa melakukan dua jual-beli dalam satu jual-beli maka harus memilih (harga) yang terendah jika tidak maka riba” (HR Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Mereka menafsirkan “dua jual-beli dalam satu jual-beli” sesuai perkataan salah satu perawi, Simak: “seseorang berkata: jika tunai harganya sekian namun jika dengan tempo maka harganya sekian” [12]. Jadi, yang dimaksud dua jual-beli menurut kelompok ini adalah menawarkan dua harga untuk satu barang karena sistem pembayaran yang berbeda, kontan dan kredit.

Sanggahan

Benar, hampir semua ulama sepakat apabila penjual berkata, “jika kau bayar tunai maka 10 dirham tapi jika dicicil maka 15 dirham” kemudian kedua pihak sepakat dan berpisah tanpa menjatuhkan pilihan pada salah satu opsi, maka tidak sah. Alasannya menurut Asy-Syaukani karena, “tidak adanya kejelasan harga”[13], yakni apakah 10 atau 15 dirham. Maka, mayoritas ulama membolehkan dua bentuk penawaran dengan dua harga yang berbeda asalkan penjual dan pembeli menjatuhkan akad pada salah satu tawaran sebelum berpisah.

Terkait penafsiran Simak sebelumnya, Ibnul Qoyim berkomentar: “itu sangat tidak sesuai dengan makna hadits, ditinjau dari dua segi: pertama, sesungguhnya akad ini bukan riba; kedua, penawaran tersebut bukanlah dua jual-beli, akan tetapi hanya satu jual-beli dengan satu harga. (Padahal dalam hadits) Pilihannya hanya berkisar pada dua hal: mengambil harga termurah atau riba. Sementara, dalam akad tersebut, sekalipun diambil harga yang lebih mahal, tidaklah terjadi riba, sehingga praktek ini tidak relevan dengan makna hadits”[14].

At-Tirmidzi menyatakan, “Sebagian ulama berpendapat dua jual-beli dalam satu jual-beli terjadi pada perkataan: “aku jual baju ini 10 dirham secara kontan dan 20 secara kredit” lalu berpisah tanpa memilih satu dari keduanya. Adapun jika berpisah dengan memilih satu dari dua pilihan tersebut maka tidak mengapa, yang penting akadnya jatuh pada salah satunya”[15]

Al-Khothobi berkomentar: “praktek ini tidak boleh karena tidak diketahui mana harga yang dijatuhi akad, padahal apabila harganya tidak diketahui batal-lah jual-belinya”. Beliau melanjutkan: “adapun jika dipilih salah satu dari kedua pilihan tersebut saat transaksi, maka sah”[16]. Thowus berkata: “tidak mengapa jika dikatakan: “baju ini harganya 10 tunai, jika ditunda selama satu bulan maka 15””. Al-Auza’i berkata: “itu tidak apa-apa namun dilarang berpisah sebelum menyepakati salah satu dari dua opsi tersebut”[17].

Penafsiran hadits yang tepat

Para ulama menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas dengan berbagai bentuk. Yang paling cocok dengan hadits ini adalah penafsiran Thowus,: “barang itu seharga sekian dan sekian jika temponya sampai sekian dan sekian; dan harganya menjadi sekian dan sekian jika dibayar tempo sampai waktu sekian dan sekian, kemudian transaksi jadi dengan ketentuan itu, maka yang berlaku adalah harga termurah dengan tempo paling lama”[18]. Artinya, tidak boleh mengakadkan jual-beli kredit dengan lebih dari satu opsi tempo dan harga tanpa kejelasan opsi harga dan tempo mana yang disepakati saat akad. Inilah yang dimaksud dua jual beli dalam satu jual-beli dalam konteks hadits ini. Jika praktek itu terlanjur terjadi maka yang berlaku adalah tawaran harga terendah, jika tidak maka riba. Dan Thowus menambahkan bahwa yang berlaku adalah tempo terlama.

Demikianlah, hadits dari Abu Hurairah tersebut tidak menyinggung jual-beli kredit dengan panambahan harga, sebab tawaran kontan dan kredit itu belumlah merupakan jual-beli, sehingga apabila disepakati salah satu opsi pada saat akad maka ia tidak terkena larangan dalam hadits tersebut.Wallahu a’lam (titok priastomo)

[1] Ziyad Ghozal, Masyru’ Qonunil buyu’ fid Daultil Islamiyah (‘Aman: Darul Wadhoh, 2010), hal. 135

[2] Asy-Syafi’i, Al-Um (Aman: Baitul Afkar ad-Dauliyah, tt) Hal. 438

[3] Ali Salus, Mausu’atul Qodhoya al Mu’ashiroh wal Iqtishodil Islamiy (Bilbis: Maktabah Daril Qur’an, 2002), hal. 438; Asy-Syaukani, Nailul Author (Kairo: Darul Hadits, 2005 ), Juz 5, hal. 160; Ibnu Hazm, Al Muhalla (Mesir: Idarotuth Thiba’ah al Muniriyah, 1351 H), juz 9, hal. 15; Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqhul Islamiy wa Adillatuh (ebook: http://shamela.ws/index.php/book/384), Juz 5, hal. 147

[4] Taqiyuddin An Nabhani, asy Syakhshiyyatul Islamiyah (Beirut: Darul Ummah, 2003), Juz 2, hal. 305

[5] Yusuf Qorodhowi, Al Halal wal Haram fil Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), Hal. 234

[6] Ali Salus, op. cit.

[7] Az Zuhaili, op. cit.

[8] ‘Utsaimin, Masailul Mudayanah (tp,tt), hal. 2

[9] Muhammad Abu Zahroh, Buhuts fir Riba ( Kairo: Darul Fikr al Arobi, 1986), hal. 37

[10] Nashirud Din Al Albani, Silsilatul Ahaditsish Shohihah (Riyadh: Maktabah al Ma’arif,) Juz V, hal. 419

[11] Muqbil, Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il (Kairo: Darul Haromain, 1999), hal. 632

[12] Nashirud Din Al Albani, op. cit.

[13] Asy Syaukani, op. cit.

[14] Ibnul Qoyim, Tahdzib Sunan Abi Dawud, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2008), Hal. 1706

[15] At Tirmidzi, As Sunan, dicetak bersama Tuhfatul Ahwadzi (‘Amman: Baitul Afkar ad Dauliyah, tt), Juz 1, hal. 1228

[16] Al Khothobi, Ma’alimus Sunan, dicetak bersama Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), juz 3 ,hal. 477

[17] Ibid

[18] Abdur Razaq, Al-Mushonnaf (Johanesburg dan Karachi: al Majlisul Ilmiy, 1972), Juz 8, hal. 137


0 komentar:

Posting Komentar

 
Hak Cipta hanya milik Allah SWT | Editor by Haris Rosyadi - |