SOAL :
Saya ingin bertanya tentang hukum
meminjam uang ke bank syariah untuk usaha. Apakah pembiayaan seperti itu
dibolehkan? Padahal, saya mendapatkan informasi bank syariah pun menerapkan
“bunga” yang disebut dengan “margin“? (Lusi, Bogor)
JAWAB :
Memang ada kemiripan antara bunga
bank konvensional dengan margin (laba) bank syariah. Tapi sifat dan prosesnya
keduanya sangat berbeda sehingga keduanya tidak boleh disamakan.
Misalkan, nasabah meminjam ke bank konvensional Rp 1 juta untuk suatu usaha
dengan perjanjian akan dikembalikan 4 bulan kemudian dengan bunga 10 %. Pada
bulan keempat bank menerima pengembalian pinjaman Rp 1.100.000, yakni ada
bunganya Rp 100 ribu.
Bunga ini mirip margin bank syariah
yang antara lain diterapkan dalam akad murabahah. Murabahah adalah menjual
barang dengan harga asal ditambah laba yang disepakati penjual dan pembeli (M.
Syafi’i Antonio, Bank Syariah, 1999:121). Misalnya nasabah ingin membeli TV
seharga Rp 1 juta. Tapi karena nasabah tak punya uang kontan, dia lalu
mengajukan pembelian TV itu dengan akad murabahah. Bank syariah membeli TV
secara kontan seharga Rp 1 juta dari toko elektronik, lalu menjualnya kepada
nasabah dengan harga Rp 1.100.000,-. Nasabah membayar secara angsuran dalam
waktu 4 bulan. Jadi, margin bank syariah sebesar 10 % (senilai Rp 100 ribu).
Sekilas dua muamalah di atas sama,
karena sama-sama menghasilkan keuntungan 100 ribu rupiah. Padahal, ada bedanya,
sebab riba dan laba jual beli tidaklah sama. Riba merupakan tambahan yang
diperoleh tanpa risiko kerugian dari pihak bank konvensional. Bank selalu
berasumsi bahwa pihak peminjam selalu dan pasti (kudu) untung dalam usahanya.
Sehingga bank konvensional merasa berhak memungut bunga. Padahal selalu ada
risiko kerugian pada nasabah yang mengusahakan modal dari bank. Maka riba telah
menyalahi kaidah fiqih berbunyi Al-ghurmu bil ghunmi (risiko kerugian itu
diimbangi dengan hak memperoleh keuntungan) (Syaikh An-Nabhani, An-Nizham
Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 187). Sedang pada jual beli, laba yang diperoleh
merupakan imbangan dari kesediaan penjual menerima risiko kerugian. Sebab pada
akad murabahah bisa saja barang yang sudah dibeli ternyata cacat atau rusak,
atau nasabah tidak jadi membeli, sehingga bank syariah mengalami kerugian.
Jadi, meski ada kemiripan, bunga dan margin tetap berbeda dalam sifat dan
prosesnya.
Maka kami berpendapat, pembiayaan
bank syariah seperti murabahah pada dasarnya mubah. Kecuali kalau didapati
kasus tertentu yang menyalahi syariah, maka kasus itu dihukumi tidak sah. Misal
dalam murabahah bank syariah tidak menjual barang, tapi hanya menyerahkan uang
kepada nasabah. Nasabah lalu membeli barang bagi bank syariah dari toko
elektronik (akad wakalah/perwakilan), lalu membeli untuk dirinya dari bank
syariah (akad jual beli), dengan satu akad yang menyatu. Jika demikian
faktanya, maka muamalah ini tidak sah, sebab terjadi dua akad (akad wakalah dan
jual beli) dalam satu akad. Ini jelas dilarang syariah.
Wallahu a’lam
Yogyakarta, 30 Agustus 2005
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
*Post Cop bay Muhammad Shiddiq Al-Jawi
0 komentar:
Posting Komentar